Hati-hati berprasangka buruk..!!
Dalam hadist riwayat Muslim Rasulullah SAW pernah bersabda:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya: "Tahukah kamu, apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’ (MUSLIM – 4690).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata:,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah Ra pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah yang berbunyi:
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya: "Tahukah kamu, apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’ (MUSLIM – 4690).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata:,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah Ra pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah yang berbunyi:
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang disebutkan
dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah
tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah
tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah
(zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda
yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya.
Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang
zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada
orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah
kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat,
atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar
masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur
yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang
keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka
kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Perilaku suka menuduh punya dampak negatif baik di tingkat individu
maupun sosial. Imam Shadiq as berkata, "Setiap kali seorang mukmin
menuduh orang lain, maka iman akan terhapus dari hatinya, seperti garam
yang larut dalam air," (Ushul al-Kafi: 3/66). Mengapa tuduhan
menyebabkan iman seseorang yang menuduh terhapus? Hal itu dikarenakan
iman senantiasa bersama kejujuran, sementara tuduhan pada dasarnya
adalah kebohongan. Itulah mengapa seseorang yang terbiasa menuduh dan
berbohong, maka secara perlahan-lahan ia akan semakin sulit berkata
jujur. Saat itulah iman yang ada dalam hatinya perlahan-lahan lenyap dan
bahkan tidak ada lagi bekasnya. Rasulullah Saw bersabda, "Setiap orang
yang menuduh pria atau perempuan beriman atau membicarakan keburukan
seseorang yang tidak ada padanya, maka Allah di Hari Kiamat akan
meletakkannya di api neraka, sehingga ia tidak mampu lagi berkata-kata"
(Bihar al-Anwar: 75/194).
Tuduhan dapat dikelompokkan dalam dua kategori; pertama, terkadang
pelakunya menuduh seseorang dengan sadar, dimana orang yang menuduh itu
tahu benar bahwa orang yang dituduh tidak demikian, tapi tetap saja ia
menuduh. Namun terkadang terjadi yang lebih buruk dari gambaran di atas.
Yakni, seseorang melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan buruk dan
untuk menyelamatkan dirinya dari hukuman, ia kemudian menisbatkan
perbuatannya itu kepada orang lain. Tuduhan yang semacam ini dalam Islam
diistilahkan dengan iftira.
Kedua, terkadang
pelakunya menuduh seseorang karena tidak tahu, atau baru berupa
sangkaan. Bila kondisi pelakunya seperti ini, maka perbuatan ini
diistilahkan dalam Islam dengan buhtan. Akar dari perbuatan
kedua ini adalah prasangka buruk kepada orang lain. Kebanyakan tuduhan
yang dilontarkan kepada orang lain bersumber dari ketidaktahuan atau
prasangka buruk. Itulah mengapa Allah dalam surat al-Hujurat ayat 12
berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa."
Benar bahwa terbentuknya prasangka dalam benak seseorang itu bukan
muncul dari kehendak seseorang, sementara pemberian pahala dan siksa itu
hanya berhubungan dengan perbuatan yang lahir dari kehendak. Oleh
karenanya, maksud dari ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang melarang
prasangka buruk terkait dengan sikap kita yang menurutinya dan melarang
kita untuk melakukan satu perbuatan tanpa mengetahuinya. Karena banyak
orang yang menuduh tanpa pengetahuan dan berbuat berdasarkan sangkaan
belaka terperosok dalam perbuatan dosa. Sebagaimana ayat yang lain
menyebutkan,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya."
(QS. 17:36) Sementara di ayat lain Allah mencela sekelompok orang yang
berbuat berdasarkan prasangka buruk. Allah Swt berfirman, "... kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa." (QS. 48:12)
Berprasangka buruk bahkan punya dampak buruk yang tidak dapat
tergantikan. Para psikolog dalam laporan-laporannya menyinggung sejumlah
kasus dimana banyak orang yang membunuh isterinya hanya dikarenakan
prasangka buruk yang menjangkitinya. Padahal kebanyakan prasangka buruk
dan tuduhan yang dialamatkan kepada isterinya tidak memiliki fakta dan
keputusan yang dilakukan tanpa bukti-bukti. Seorang mukmin bukan hanya
tidak diperbolehkan berprasangka buruk terhadap saudara seimannya, apa
lagi berlaku berdasarkan prasangka buruk itu. Seorang mukmin harus
menilai benar perbuatan saudara-saudaranya, kecuali memiliki bukti yang
kuat bahwa mereka berbuat salah atau buruk. Sekaitan dengan hal ini Imam
Ali as berkata, "Kalian harus membenarkan ucapan dan perbuatan saudara
seagama kalian dengan baik, kecuali kalian yakini bahwa masalahnya
ternyata lain dan tidak ada cara lain untuk membenarkannya" (Ushul
al-Kafi: 2/362)
Allah berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 12:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang".
Apakah kita masih suka berfikiran negatif kepada orang lain??
#hanya kita yang mengetahui jawabannya..dan ingat Allah maha mengetahui apa yang ada di hati kita...
:)
:)
#pesan penulis:: jangan malu untuk meminta maaf kepada orang orang yang telah kita sakiti, karna sesungguhnya meminta maaf itu adalah perbuatan yang mulia...
Terima Kasih...
Comments
Post a Comment